Tradisi Ngalogat di Pesantren Salafiyyah


Ngalogat


Rumus Ngalogat Sunda dan Jawa Dalam Kitab Kuning - Alhikmah.my.id


Tradisi Ngalogat di Pesantren Salafiyyah


Daftar Isi


Mengenal Tradisi Ngalogat di Pesantren Salafiyyah

Sejarah Tradisi Ngalogat

Sejarah Ngalogat di Sunda

Tokoh Ngalogat

Rumus Ngalogat Kitab Kuning

Rumus Ngalogat Jawa

Rumus Ngalogat Sunda



Alhikmah.my.id ~ Bagi santri, khususnya di daerah Sunda atau Jawa pasti tidak asing dengan ngalogat dan rumus ngalogat kitab kuning bahasa Sunda atau Jawa. Sebelum pembahasan mengenai ngalogat, pertama-tama kita akan memulai pembahasan lengkap mengenai ngalogat.


Mengenal Tradisi Ngalogat di Pesantren Salafiyyah


Secara bahasa, kata “ngalogat” adalah kata yang belum masuk ke dalam kamus bahasa Sunda dan Ensiklopedia Sunda. Dalam Kamus Bahasa Sunda (KBS) karya Satjadibata dan Kamus Umum Bahasa Sunda (KUBS) terbitan Lembaga Bahasa & Sastra Sunda, hanya ditemukan kata “logat” sebagai kata benda, tidak ada kata ngalogat sebagai kata kerja. Begitu pun di dalam Ensiklopedia Sunda, istilah ngalogat tidak ditemui di sana. Kata logat tersebut terdapat dalam bahasa Arab yaitu lughah (لغة) artinya bahasa.

Mengenai ngalogat, Yahya mengatakan bahwa ngalogat adalah menerjemahkan teks bahasa Arab dalam kitab kuning secara kata per kata di bawah kata yang dimaksud dengan menggunakan huruf bahasa Arab dengan tujuan untuk mengetahui tarkib kalimat bahasa Arab, mempermudah dalam penerjemahan, dan pemaknaannya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa,


Ngalogat adalah menerjemahkan

Istilah ngalogat lebih populer digunakan di lingkungan pesantren Jawa Barat. Ada pun luar Jawa Barat istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan “maknani” di Jawa Timur, “ngepsah” di Jawa Tengah, dan “ngepsahi” di Yogyakarta.

Menurut Ilham dan Noerzaman, ngalogat kitab kuning diterapkan dalam setiap pembelajaran di pesantren salafiyah, seperti dalam sorogan, bandongan, balagan, dan pasaran.

Sorogan merupakan metode belajar di mana santri menyetorkan kitab kuning secara individual ke ustaz. Ustaz tersebut membimbing santri ngalogat secara lisan. Tujuannya adalah agar santri dapat lebih terbiasa ngalogat walaupun tanpa tulisannya di kitab kuning.

Bandongan dan balagan merupakan dua metode yang hampir sama, yaitu memperhatikan ustaz ketika membaca kitab kuning, menjelaskan pelajaran, dll.

Pasaran adalah kegiatan ngalogat yang dilakukan secara maraton setiap tahun sekali, contohnya adalah pasaran menamatkan satu kitab kuning selama satu bulan.




Proses ngalogat diawali dengan pembacaan teks kitab kuning oleh ajengan1 kata demi kata dalam satu kalimat. Ketika itu, para santri mengikutinya hingga ajengan tersebut berhenti. Setiap kata tersebut diterjemahkan sesuai “logat-an pesantren”. Ketika kata per kata dalam satu kalimat telah selesai diterjemahkan, maka kalimat tersebut diterjemahkan sesuai bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika santri telah terbiasa dengan kata-kata bahasa Arab dalam kitab kuning maka semakin sedikit terjemahannya. Karena itu, santri tinggal ngalogat kata-kata yang belum dia ketahui.

Bahasa yang digunakan dalam kegiatan ngalogat adalah bahasa Sunda atau Jawa. Ada pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Jawa lebih sesuai dalam kegiatan ngalogat karena kekayaan kosakatanya. Ada pun dasar-dasar ngalogat Sunda mengikuti pola terjemahan bahasa Jawa. Ngalogat Sunda pada dasarnya mengikuti pola penerjemahan bahasa Jawa. Alasannya sebagaimana pendapat Zuhri  yang mengatakan bahwa tradisi ngalogat berasal dari Pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Bahasa ngalogat tergantung pada wilayah yang menggunakannya. Pesantren di Jawa Barat mayoritas menggunakan bahasa Sunda dan sebagian lagi menggunakan bahasa Jawa dengan tujuan untuk menjaga transmisi keilmuan guru dan murid.

Ngalogat dengan bahasa Sunda tidak dipengaruhi dan dipatok pada bahasa Sunda baku. Kosa kata yang digunakan dalam ngalogat disesuaikan dengan pesantren setempat, maksudnya bukan berdasarkan bahasa lokal setempat tetapi berdasarkan pribadi yang mengajarkan kitab tertentu. Salah satu hasil ngalogat kerap diajarakan di wilayah Jawa Barat adalah ngalogat kitab Safinah bahasa Sunda.

Dalam kegiatan ngalogat santri menggunakan pena yang runcing dan tinta cinta atau denagan bullpoint yang menghasilkan tulisan yang tipis. Penggunaan pena yang runcing bertujuan untuk menghasilkan tulisan yang tipis sehingga tulisan tangan santri dapat di baca di antara baris-baris teks bahasa Arab dalam kitab kuning yang biasanya jarak antara barisnya tidak terlalu jauh. Pena tersebut di padukan dengan tinta Cina. Tinta cina dipilih karena kualitasnya bagus, yakni tidak mudah luntur dan awet sehingga hasil ngalogat dapat bertahan lebih lama. Tinta cina tersebut disimpan di dalam tempat yang berbentuk piala kecil yang biasanya dilapisi serat batang pisang atau kapas. Bagi santri-santri yang kurang telaten menggunakan pena dan tinta Cina, mereka lebih memilih menggunakan bullpoint yang menghasilkan tulisan tipis. Cara ke dua merupakan cara yang lebih praktis dan lebih banyak dipilih oleh santri-santri hingga kini.

Ada beberapa perbedaan penulisan ngalogat di beberapa daerah di Nusantara. Di daerah Melayu, tulisan yang digunakan dalam kegiatan ngalogat dikenal dengan istilah Arab-Melayu atau Jawi. Bahasa yang digunakan bervariasi sesuai bahasa setempat, seperti bahasa Bugis di Sulawesi dan Bahasa Melayu di Sumatra. Dalam perkembangannya tulisan Jawi menjadi cikal bakal tulisan Arab pegon. Arab pegon merupakan bahasa Jawa atau Sunda yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab tanpa syakal.


Sejarah Tradisi Ngalogat


Hingga kini, sejarah mengenai asal-usul ngalogat yang didapat masih sangat sedikit. Informasi yang baru didapat hanya sebatas menyebutkan bahwa tradisi ngalogat awalnya berasal dari pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Zurhri berpendapat bahwa ngalogat diperkenalkan Sunan Ampel sejak lima abad lalu di pesantren di Surabaya. Dalam belajar bahasa Arab di pesantren (ngalogat) biasanya menggunakan bahasa khas seperti “utawi-iki-opo-ingatase-ing dalem“. Menurutnya bahasa tersebut merupakan bahasa yang “aneh” dan sulit dimengerti. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa “aneh” tersebut kemudian menyebar ke seluruh Nusantara sehingga menjadikannya bahasa pemersatu umat Islam di Nusantara.

Sejarah Ngalogat di Sunda


Ngalogat Jawa kemudian masuk ke tatar Sunda melalui Cirebon dan Banten pada tahun 1521-1705 di bawah pengaruh Demak dan Mataram.

Walaupun demikian, Yahya mengatakan ngalogat Sunda mungkin saja bukan berasal dari Sunan Ampel. Alasannya karena pada abad ke-15 telah ada sekolah agama, yaitu pesantren Quro di Pura, Karawang, Jawa Barat yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin. Alasan lainnya adalah karena pada abad ke-15 dan awal abad ke-16 tatar Sunda tidak dipengaruhi oleh politik dan budaya Jawa. Dari data tersebut, bisa jadi Syekh Hasanuddin adalah orang yang mengenalkan ngalogat Sunda. Akan tetapi pesantren Quro belum dapat dianggap sebagai perintis tradisi pesantren karena sejarah perkembangan kelembagaannya masih belum diketahui (Yahya, 2007).

Berdasarkan catatan, ajengan Soebandi di pesantren Cilenga, Singaparna memulai tradisi ngalogat Sunda. Namun informasi mengenai ngalogat Sunda dari ajengan Soebandi belum didapatkan karena informasi tersebut belum diperoleh dari keluarganya ditambah pesantrennya sudah tidak ada lagi.


KH. Muhammad Syabandi

Salah satu murid ajengan Soebandi adalah Ajengan Ruhiyat. Ajengan Ruhiyat, pendiri pesantren Cipasung pada tahun 1931 adalah ajengan yang memulai memperkenalkan secara tegas tradisi ngalogat Sunda di Tasikmalaya, Jawa Barat. Alasannya menggunakan ngalogat Sunda adalah agar memudahkan para santrinya dalam mengaji karena mayoritas santrinya berasal dari daerah Sunda. Ketika menjadi alumni, santri-santri tersebut menyebarkan tradisi ngalogat Sunda ke daerahnya.


KH. Moch Ilyas Ruhiyat

Tradisi ngalogat Sunda di Bandung diperkenalkan oleh ajengan Ahmad Dimyathi putra ajengan Ahmad Muhammad dari pesantren Sukamiskin. Ajengan Ahmad Dimyathi mengenalkan ngalogat Sunda setelah kepulangannya belajar dari Makkah pada tahun 1910. Ia melihat santri-santri di pesantrennya berasal dari tatar Sunda, apabila ia ngalogat menggunakan bahasa Jawa seperti ayahnya ia merasa akan mempersulit santri-santrinya. Atas alasan tersebut ia mulai ngalogat menggunakan bahasa Sunda. Tindakan tersebut diambil karena ia belajar langsung dari Makkah serta karena ia merupakan sosok yang pemikirannya terbuka bahkan maju pada masa tersebut.

Ajengan–ajengan tersebut melakukan langkah berani dengan melakukan peralihan ngalogat Jawa ke ngalogat Sunda. Di lingkungan pesantren, perubahan metode dan sistem belajar adalah sesuatu perkara yang sulit. Hal itu karena menyangkut pada keberkahan ilmu. Keberkahan itu didapat ketika ketika seorang santri ber-takzim kepada ajengannya (ustaz). Sehingga bukan perkara yang mudah bagi seorang santri memulai tradisi yang belum ada atau tidak pernah ada sebelumnya. Oleh karena itu, mustahil bagi santri untuk melakukan sesuatu yang tidak diajarkan oleh gurunya. Dari alasan tersebut, Yahya berpendapat bahwa ajengan yang memulai ngalogat Sunda tidak tidak pernah mengaji ke pesantren Jawa dan tidak pernah menjadi santri di pesantren Sunda yang menggunakan bahasa Jawa. Santri tersebut belajar kepada ajengan yang telah ngalogat Sunda sebagaimana anjengan Ruhiat atau ia ber-ijtihad seperti ajengan Ahmad Dimyathi.

Tokoh Ngalogat


Dalam proses penyebarannya, ada beberapa ajengan yang menjadi sumber rujukan ngalogat Sunda.

Ajengan Emed dari pesantren Santiong, Cicalengka, Bandung untuk logat-an dan pembacaan tafsir Alquran.

Ajengan Utsman dari pesantren Sadang, Wanaraja, Garut untuk untuk logat-an dan pembacaan kitab Alfiyah ibnu Malik.

Ajengan Khoer Affandi dari pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya untuk logat-an dan pembacaan kitab Jauhar al-Tauhid.


KH. Rd. Utsman
KH. Khoer Affandi

Hasil logat-an dari ajengan-ajengan tersebut selanjutnya meluas dan menyebar ke pelbagai daerah Sunda berdasarkan persebaran santri-santrinya. Dari proses tersebut, transmisi ngalogat bersifat turun temurun sebagai pengajaran di pesantren. Pada hakikatnya, kegiatan ini tidak dibakukan, akan tetapi tetap dipertahankan demi kepentingan sosial-histrois.


Rumus Ngalogat Kitab Kuning


Dalam kegiatan ngalogat, kerap digunakan simbol-simbol khusus. Simbol tersebut sangat bervariasi dan cukup banyak jenisnya. Secara sederhana

rumus ngalogat adalah simbol yang digunakan dalam kegiatan ngalogat.

Rumus ngalogat digunakan untuk mempermudah dan mempercepat ngalogat. Irham dan Noerzaman mengatakan bahwa rumus ngalogat memiliki keterikatan dengan ilmu nahwu, balaghah, dan mantiq. Selain itu, rumus ngalogat ini digunakan sebagai penanda penerjemahan mufradi (kata per kata) sebelum diterjemahkan secara ijmali (kalimat utuh).

Rumus ngalogat yang ditemukan di lingkungan pesantren cukup banyak jenisnya. Hal itu dikarenakan tidak ada patokan khusus dalam bentuk rumus ngalogat sehingga rumus ngalogat biasanya disesuaikan oleh penggunanya. Hal yang terpenting dari rumus ngalogat adalah mudah dipahami oleh penulisnya.

Walaupun demikian, ada dua jenis rumus ngalogat yang ditemui dan kerap digunakan di lingkungan pesantren, yaitu rumus ngalogat Jawa dan rumus ngalogat Sunda.


Rumus Ngalogat Jawa


Di Jawa dan beberapa daerah Sunda, ngalogat menggunakan bahasa yang khas yaitu “utawi-iki-opo-ingatase-ing adalem”. Kata-kata khas tadi berfungsi untuk menandai tarkib kalimah  di kitab kuning. Sunan Ampel Bahasa memperkenalkan bahasa khas tersebut lima abad yang lalu ketika Sunan Ampel membuka pesantren di Surabaya.

Bentuk rumus ngalogat tersebut diambil dari huruf atau singkatan tarkib berdasarkan ilmu nahwu. Contohnya

Huruf mim (م) untuk menandai mubtada (مبتدأ)

Huruf kha (خ) untuk menandai khabar (خبر)

Huruf fa dan alif (فا) untuk menandani fa’il (فاعل).

Huruf mim dan fa (مف) untuk menandai maf’ul bih (مفعول به).


©All Rights and Credits Reserved To The Respective Owner(s). Please Contact Us For Credit or Removal.

Rumus Ngalogat Sunda


Di lingkungan pesantren Sunda, rumus-rumus tersebut dinamakan rarangkén ngalogat. Rumus ngalogat ini kerap digunakan oleh pesantren yang berada di Tasikmalaya, Garut, dan Bandung. Bahasa khas dalam ngalogat Sunda adalah “ari-eta-saha-ka, dst.”. Sama seperti bahasa khas ngalogat Jawa, kata khas ngalogat Sunda tersebut menjadi penanda tarkib dalam ngalogat.

Asal-susul bentuk rumus ngalogat Sunda di bagi menjadi dua, yaitu:

Pertama, berdasarkan kesemenaan dan konvensional. Contohnya seperti penanda mubtada dan khobar. Untuk rumus mubtada, Wildan Taufik berpendapat bahwa simbol tersebut memiliki kemungkinan berasal dari modifikasi huruf wau (و) dari kata utawi (أُتاوي) atau mim (م) dari kata mubtada (مبتدأ).

Kedua, bentuk rumus ngalogat Sunda diadopsi dari logat-an Jawa yang ditulis dengan huruf pegon. Contohnya seperti:


Rumus Ngalogat Sunda

Keterangan:

Penanda fa’il ‘aqil  adalah سف. Diambil dari singkatan kata سَوْفَوْ /sopo/.

Penanda fa’il ghair ‘aqil  adalah اف. Diambil dari singkatan kata اَوْفَوْ /opo/.

Penanda maf’ul bih adalah اڠ terkadang ditulis dengan اع. Diambil dari kata اِڠْ /ing/.

Penanda hal adalah حلى. Diambil dari kata حلي /hale/.

Penanda tamyiz adalah افن. Diambil dari kata اَوفَون /opone/.

Penanda na’at adalah كڠ kadang ditulis كع. Diambil dari kata كاڠ /kang/.

Selain rumus ngalogat khas Sunda di atas, rumus lain mengikuti rumus ngalogat Jawa

Pada preaktiknya rumus-rumus ngalogat di atas tidaklah baku sebagaimana gambar di atas. Setiap santri tidak terikat pada suatu peraturan dan banyak dari mereka membuat simbol-simbol seendiri. Hal itu karena tujuan utama dari simbol tersebut adalah untuk mengetahui rujukan kata ganti yang tepat sehingga cukup dipahami oleh penulis simbolnya. Selain itu, santri pun akan menuliskan keterangan tambahan dalam ruang kosong yang ada pada kitab.

Berikut ini contoh hasil logatan santri Miftahul Huda Tasikmalaya:


contoh ngalogat sunda

Gelar yang diberikan oleh kalangan ulama atau masyarakat kepada tokoh agama. Kedudukan ajengan lebih tinggi dibandingkan kiai. ↩

Sumber:


Yahya, I. Z. (2007). Politik & Postkolonialitas di Indonesia. (S. J. Budi Sasanto, Ed.) (Ke-5). Yogyakarta: Kanisius.

Wihandani. (2019). “Rarangken Ngalogat di Pondok Pesantren Miftahul Huda Tasikmalaya: Kajian Semiotika”. Skripsi. Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humanuiora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dapat diakses di http://digilib.uinsgd.ac.id/26394/ untuk versi bahasa Indonesia hubungi ana.


Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama