KH. Muhammad Dimyathi al-Bantani (Abuya Dimyathi) - ALHIKMAH

  KH. Muhammad Dimyathi al-Bantani (Abuya Dimyathi)




KELAHIRAN

KH. Muhammad Dimyathi atau yang kerap disapa dengan panggilan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim lahir lahir sekitar pada tahun 1925 di Banten. Beliau merupakan putra dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqayah.

WAFAT

Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M atau bertepatan pada 7 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 WIB. Umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.

PENDIDIKAN

Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok untuk menuntut ilmu.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa, di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri, Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.

Beliau adalah sosok yang haus akan ilmu, bahkan ketika telah berkeluarga dan memiliki putera, beliau tetap berangkat mondok bahkan Bersama dengan puteranya. Ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa

Bagi Abuya Dimyati, hidup adalah ibadah. Tidak salah, kalau KH. Dimyati Rois Kaliwungu Kendal, pernah menjelaskan, bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa seperti Abuya Dimyati. Menurutnya, selama mondok di Kaliwungu Kendal, Abuya Dimyati tidak pernah menyia-nyiakan waktu.

Di sisi lain, ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji pada KH. Baidlowi, Lasem. Beliau bertemu dengannya, Abuya Dimyati malah disuruh pulang. Namun, Abuya Dimyati justru semakin menggebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kyai kharismatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa”.

Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH. Baidlowi pun menjawab, “Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan shalawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena thariqah itu adalah sebuah wadzifah (sarana) yang terdiri dari dzikir dan shalawat.”

Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH. Baidlowi. Pada akhirnya, KH. Baidlowi menyuruh Abuya untuk shalat istikharah. Setelah melaksanakan shalat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH. Baidlowiyang kemudian diijazahi Thariqah Asy-Syadziliyah.

Disebutkan dalam satu riwayat, ketika bertemu dengan KH. Dalhar Watucongol Magelang, Abuya Dimyati sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari, Abuya Dimyati tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh KH. Dalhar.

Tepat pada hari ke-40, Abuya Dimyati dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan jauh-jauh datang kesini mau apa?,” tanya kyai Dalhar.


Ditanya begitu Abuya Dimyati pun menjawab, “Saya mau mondok kiai”.

Kemudian Kiai Dalhar pun berkata, “perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Daripada sampeyan mondok disini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam”.

Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?”.

Kemudian Kiai Dalhar memberi saran, ”baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada disini dan sampeyan jangan punya teman”. Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah thariqah Syadziliyah kepada Abuya Dimyati.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya Dimyati sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya Dimyati datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santrinya, bahwa besok akan datang ‘kitab banyak’.

Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya Dimyati menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo Pare Kediri, Abuya Dimyati lebih dikenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’iannya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Kekuatan hati dan ketekunan beliau akhirnya mengantarkan beliau menjadi seorang ulama besar dan shalih serta disegani para ulama di seluruh nusantara. Karena itu, tidak berlebihan apabila kepopuleran Abuya Dimyati setara dengan Abuya Busthomi (Cisantri) dan kiai Munfasir (Ciomas). Abuya Dimyati adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru ketika beliau lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.

MENDIRIKAN PESANTREN

Abuya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu, Pandeglang, Banten sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta.

Dalam bidang tasawuf, Abuya Dimyati menganut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah dari Syekh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat kepada jama’ah-jama’ah Abuya Dimyati hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari Syekh Dalhar, Watucongol, Magelang.

Itu sebabnya, dalam perilaku sehari-hari beliau tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas. Banyak dari beberapa pihak maupun wartawan yang coba untuk mempublikasikan kegiatannya di pesantren selalu ditolak dengan halus oleh Abuya Dimyati, begitu pun ketika beliau diberi sumbangan oleh para pejabat selalu ditolak dan dikembalikan sumbangan tersebut. Hal ini pernah menimpa Mbak Tutut (anak mantan Presiden Soeharto) yang memberi sumbangan sebesar 1 milyar, tetapi oleh Abuya Dimyati dikembalikan/ditolak.

KAROMAH

Di waktu mondok, Abuya Dimyati sudah terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu, baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.

1.) Mengkhatamkan Kitab Tafsir Ibnu Jarir Dalam Waktu Singkat

Di tahun 1999, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab Tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya, pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah khatam 4 kali membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).




2.) Berziarah Di Baghdad Setiap Malam Jum’at

Kisah karomah Abuya Dimyati Rois Banten ini berawal dari seorang kiai dari Jawa yang pergi ke Makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad, Irak. Karena Ketika itu, kiai tersebut merasa sangat bangga karena banyak kiai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, dia dapat menziarahi sampai ke Makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani.



Ketika sampai di makam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, "Anda dari mana?"

Si kiai menjawab, "Dari Indonesia".

Maka, penjaganya pun langsung bilang, "Oh, di sini pada setiap malam Jum'at ada seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah hanya duduk saja di depan makam beberapa waktu, namun, peziarah-peziarah lain akan ikut diam demi menghormati beliau, setelah beliau mulai membaca Al-Qur'an, baru para penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri”.

Mendengar hal itu, kiai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut.



Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati Rois Banten. Maka kiai tersebut terkagum-kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.

3.) Karomah-Karomah Lain

Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat kepada gurunya, KH. Rukyat (Mbah Ru’yat) Kaliwungu Kendal. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia.

TELADAN

Abuya Dimyati merupakan sosok yang bersahaja, menjauhi keduniawian, wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan), ahli sedekah, puasa, humanis, makan seperlunya (ala kadarnya seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW), dan penuh kasih saying terhadap umat.



Semasa hidup beliau dikenal sebagai gurunya para guru dan kiainya para kiai, sehingga tidak berlebihan jika Abuya Dimyati disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki Abuya Dimyati sebagai pakunya Tanah Banten, salah satu tanah yang diberkahi.

Abuya Dimyati adalah tokoh yang senantiasa menjadi pusat perhatian, yang justru di sisi lain beliau lebih ingin “menyedikitkan” bergaul dengan makhluk demi mengisi sebagian besar waktunya dengan ngaji dan ber-tawajjuh ke hadratillah.



Abuya merupakan seorang Qurra’ dengan lidah yang fasih, istiqamah selama 40 tahun mengamalkan wirid al Quran, jika shalat tarawih beliau tidak akan turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Quran dalam shalatnya.

Selain dikenal sebagai sosok yang sempurna dalam menjalan syariat agama, beliau juga dikenal sabagai salah satu ulama yang menjalankan kehidupan peribadi dengan pendekatan tasawuf. Dalam thariqah beliau menganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah, maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas.



Walau dalam thariqah beliau menganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah, secara pengamalannya beliau menempuh cara yang unik. Secara tegas beliau mengatakan, “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). 


Sebagaimana yang dijelaskan dala al-Quran:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”

Sebab, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu.

Sebagai sarana diwariskannya ilmu, dengan ngaji, sunah dan keteladanan Nabi SAW diajarkan dan diturunkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji, Abuya Dimyati sering mengingatkan untuk tidak meninggalkannya, “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”.


Dalam mendidik anak-anaknya, Abuya Dimyati menghukumi Fardhu ‘Ain bagi putera putrinya dalam urusan ngaji. Beliau tidak akan memulai suatu majelis ilmu ddn shalat jamaah, kecuali semua anak-anaknya hadir dalam majelis dan shaf shalat. Jika belum datang, maka kentongan sebagai isyarat waktu shalat pun dipukul lagi berkali-kali, sampai semua hadir dan shalat jama’ah pun dimulai.

Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Disadur dari tulisan Afwal Mannan dalam sinopsis buku “Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona langkah di Dua Alam)”

KARYA-KARYA

Beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah :

Kitab Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M.

Kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr.

Kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.


Kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori.

Kitab Al-Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah.

 

Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama