Kisah hikmah -Abu Yazid Al-Busthami ( MA'RIFAT BILLAH )

 Kisah hikmah -Abu Yazid Al-Bisthami
( MA'RIFAT BILLAH )



 


Suatu ketika Abu Yazid Albustami (804-875 M) pergi ke Mekkah. Putra Persia yang juga dikenal dengan Bayazid Al-Bustami ini menjadi salah satu syeikh besar dalam dunia sufi, dengan coraknya yang falsafi. Secara fiqh ia mengikuti imam Hanafi yang juga cenderung rasional.

Diriwayatkan oleh Syaikh Syamsuddin Attabrizi, guru dari Maulana Jalaluddin Rumi. Ketika sampai di Bashrah Irak, Abu Yazid bertemu salah satu guru sufi.

Lalu sang guru sufi bertanya, “mau kemana engkau wahai Abu Yazid?”. Abu Yazid menjawab, “mau pergi haji ke Baitullah.”

Sang guru sufi bertanya lagi, “berapa banyak bekal yang engkau punya untuk pergi bertemu Allah swt di Baitullah sana?” Abu Yazid menjawab, “200 dirham.”

Guru sufi menasehati Abu Yazid, “Kau serahkan saja 200 dirham itu kepadaku, lalu kau tawaflah aku sebanyak 7 kali.”

Guru sufi ini lebih lanjut menerangkan kepada Abu Yazid, “Kau pikir Allah itu ada dalam Kakbah? Apa kalian pikir Allah itu bisa kalian kurung dalam sebuah bangunan?”

“Jauh sekali engkau mencari Allah. Padahal Dia ada dalam hati seorang mukmin. Dia dekat, lebih dekat dari urat leher. Kau tawaflah aku saja, karena Allah ada dalam qalbuku,” kata sang guru.

Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa qalbu seorang mukmin adalah baitullah. Qalbu para sufi adalah qalbu yang senantiasa mengalami muraqabah. Allah bersemayam dalam qalbu yang seperti itu.

Sementara qalbu manusia biasa justru menjadi sarang syaitan. Karena jarang bahkan tidak pernah mengalami proses penyucian (suluk).

Kata guru sufi ini, “Allah tidak pernah masuk ke dalam baitullah sejak itu didirikan. Namun Allah tidak pernah keluar dari qalbuku sejak ia dibangun oleh-Nya.”

Setelah pengajaran makrifat ini, sang guru tetap mempersilakan Abu Yazid menunaikan rukun Islam kelima ke Mekkah.

Namun ada pesan sangat hakiki tentang keberadaan Allah yang diperoleh Abu Yazid dalam perspektif tasawuf dari pengalaman itu.

Disebutkan, Abu Yazid setelah itu menghabiskan seluruh waktunya di kota kelahirannya Bistami sampai akhir hayatnya. Karena ia melihat Allah ada di kampung halamannya, tak perlu mengembara kemana-mana sebagaimana umumnya pencari hakikat.

Katanya: “Temanku (Tuhanku) tidak pernah bepergian, dan karenanya aku juga tidak berhijrah dari sini” (Azyumardi Azra, Ilyas Ismail, dkk. 2008. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Penerbit Angkasa).

Ini mirip dengan yang kemudian disyairkan Hamzah Fansuri. Mencari Tuhan sampai ke Mekkah. Tapi ketemunya di ‘rumah’ (di qalbunya sendiri):

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah// Mencari Tuhan di Baitul Kakbah// Dari Barus ke Kudus terlalu payah// Akhirnya ditemukan di dalam rumah//

***

Banyak orang masih beranggapan Allah ada di Arab. Padahal hampir seluruh penjuru negerinya sudah menjadi pangkalan perang iblis dan syaitan (NATO). Termasuk Arab Saudi, setiap jengkalnya ada dalam kuasa mereka. Raja-rajanya tunduk patuh pada kekuatan hitam dunia.

Allah justru sudah pindah ke qalbu para pejuang Hizbullah, Ansharullah, HAMAS dan lainnya di luar Mekkah dan Madinah. Yang dengan itulah mereka masih bertahan menghadapi ISIS dan segenap kekuatan syaitan yang paling nyata di dunia (Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya).

***

Ternyata drama perjalanan Abu Yazid ke baitullah juga menggema sampai ke Pelekueng, Aceh. Ada berita bahwa para pengikut sebuah tarekat disana ramai-ramai naik haji ke Nagan Raya.

Kalau mengikuti aturan syariat, berhaji bukanlah kesana. Itu sudah pasti. Orang-orang tarekat juga berhaji ke negeri Arab.

Namun kelihatannya mereka masih percaya, bahwa Allah pada hakikatnya dapat ditemukan dalam qalbu seorang mursyid, seorang ulama yang dianggap mewarisi Cahaya Muhammadi.

Ditempat lain juga ada seorang habib yang saban hari ketika ditanya mau kemana, ia menjawab “mau naik haji ke rumah tetangga.”

Ternyata ada anak yatim disebelah rumah yang setiap saat ia santuni. Nabi saaw berkata, “memberi makan tetangga yang miskin sama pahalanya dengan naik haji.”

Kalau pengikut Syattariyah di Nagan naik haji ke Pelekung, maka pengikut habib ini naik haji ke rumah tetangga.”

Kaum sufi dalam berbagai konsep dan bentuk ritusnya memang terlihat aneh di mata awam. Tapi mereka tak pernah mengkafirkan orang. Sehingga kehidupan sosial cenderung tenteram. Seperti itulah dasar-dasar keislaman di Aceh dan nusantara ditegakkan.

Sementara kaum syariat, saban hari melalui corong masjid dan medsos membidahkan berbagai perbedaan dalam kehidupan beragama. Keberadaan mereka justru menggusur kedamaian.

Padahal mereka menimba ilmu agama sampai ke Arab. Tetapi kenapa Allah yang maha pengasih dan penyayang tidak dibawa serta? Apakah benar seperti hipotesis sebelumnya, bahwa tidak ada lagi Tuhan disana? Sehingga ilmu (syariat) lebih kental daripada adab (etika).

Itu perbedaan ketauhidan kaum sufi dengan ustadz-ustadz syariat, apalagi yang salafi yang begitu fenomenal belakangan ini. Yang satu membangun toleransi. Lainnya memprovokasi.

Syariat dan tarekat harus berjalan bersama. Agar melahirkan Islam lahir batin. Ketaatan yang toleran.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*


NASIHAT SAYYIDI ABU YAZID AL BUSTAMI KEPADA MURIDNYA
...

Di samping seorang Sufi, Sheikh Abu Yazid Al Bustami juga adalah Guru Mursyid tasawuf. Di antara muridnya, ada seorang murid yang rajin mengikuti pengajiannya.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Sidi Abu Yazid, “Guru, aku sudah beribadah tiga puluh tahun lamanya. Aku shalat setiap malam dan puasa setiap hari, dan aku tinggalkan syahwatku, tapi anehnya, aku belum menemukan pengalaman ruhani yang Guru ceritakan.

Aku belum pernah saksikan apa pun yang Guru gambarkan.

Sidi Abu Yazid menjawab, “Sekiranya kau puasa dan beribadah selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun dalam ilmu ini.”

Murid itu heran, “Mengapa, Wahai Tuan Guru?”

“Karena kau tertutup oleh eksistensi dirimu,” jawab Sidi Abu Yazid.
“Apakah ini ada obatnya, agar hijab ini tersingkap?” tanya sang murid.
“Boleh,” ucap Abu Yazid, “tapi kau takkan kuat melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Abu Yazid, “sekarang pergilah ke tukang cukur, cukurlah jenggotmu yg mulia itu, tanggalkan pakaianmu dan pakailah baju yang lusuh dan compang-camping."

Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana.

Katakan pada mereka dengan lantang “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.”

Lalu datangilah (juga) pasarmu (di mana) jamaah kamu sering mengagumimu."

“Subhanallah, Kau mengatakan ini padaku, apakah ini baik untuk kulakukan?“, kata murid itu terkejut.

Sidi Abu Yazid berkata, “Ucapan tasbihmu itu adalah syirik.”

Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”

Sidi Abu Yazid menjawab, “Karena "... KELIHATANNYA KAU SEDANG MEMUJI ALLAH, PADAHAL SEBENARNYA KAU SEDANG MEMUJI DIRIMU..."

Murid itu berkata, “Aku tidak mampu melakukannya, tunjukkan aku cara lain yang bisa kulakukan.”

Sidi Abu Yazid berkata: "Mulailah dengan hal ini sebelum yang lain, sampai perasaan agungmu hilang, dan dirimu merasa rendah, lalu akan kuberitahu apa apa yang baik bagimu."

Sang murid menjawab: "Aku tidak mampu melakukannya."

Abu Yazid berkata: Kau memang takkan mampu melakukannya!”

(Sumber: Qu'tul Quluub, Abu Thalib al Makky, Juz 2, hal 121)

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga, diantaranya:
Abu Yazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadah mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
Abu Yazid menganjurkan muridnya berlatih ego dan keinginan untuk menonjol dan dihormati segera hilang, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian.

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadah yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan.

Orang yang gemar beribadah rawan jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadah dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan kecewa bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya.

Semoga Allah melindungi kita dari sifat ujub.

AL HIKMAH

Posting Komentar

semoga bermanfaat

Lebih baru Lebih lama